Catatan Awal tentang Logika Sentensial dan implikasinya dalam diskusi Manunggaling Kawula Gusti dan Trinitas

##plugins.themes.academic_pro.article.main##

Victor Christianto

Abstract

Abstrak
Dalam catatan awal ini kami mengajukan argumen bahwa konsep logika
sentensial memuat kemungkinan betweenness/neitherness/ bothness yang tidak
dikenal dalam logika biner Aristotelian. Kami mengusulkan bahwa konsep logika
sentensial akan berguna untuk menjembatani dialog antara pendukung nondualisme seperti mistisisme kaum sufi dan para pendukung mazhab dualisme.
Dalam konteks ini, kekristenan menawarkan kerangka berpikir bahwa hanya
Yesuslah satu-satunya Sang Manunggaling Kawula Gusti yang sejati, sementara
kita sebagai manusia dapat berperan sekaligus sebagai makhluk yang berbeda
dengan Sang Gusti, namun pada saat yang sama, umat percaya menyatu dengan
Tuhan, meski bukan dengan konsep manunggalnya para sufi. Artinya, logika
sentensial/ proposisional memungkinkan kita memahami bahwa manusia
serempak disatukan dengan Sang Khalik, namun pada saat yang sama tetap
berbeda dengan Sang Khalik. Artinya non-dualisme dan dualisme pada saat yang
sama. Tentunya diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai topik ini, yang
akan kami tuliskan dalam artikel lain kemudian.



Abstract
In this introductory exploration, we argue that the concept of sentential logic
contains a possibility of betweenness / neitherness / bothness unknown to
Aristotelian binary logic. We propose that the concept of sentential logic will be
useful for bridging the dialogue between supporters of non-dualism such as the
mysticism of the Sufis and the supporters of the dualism schools. In this context,
Christianity offers a framework of thinking that only Jesus is the true
Manunggaling Kawula Gusti, while we humans can simultaneously act as
creatures that are different from the Gusti (God), but at the same time, believers
are one with God, although not the same with the concept of divine unity of the
Sufis. That is, sentential / propositional logic makes it possible that humans are
simultaneously united with the Creator, but at the same time remain different
from the Creator. It means non-dualism and dualism at the same time. For sure, a
more in-depth exploration is required, and we plan to present it in another article.

##plugins.themes.academic_pro.article.details##

References

  1. Bahm, A.J. Filsafat Perbandingan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003.
  2. Benthem, Johan van, Hans van Ditmarsch, Jan van Eijck, Jan Jaspars. Logic in action. Nov. 2016.
  3. Botterweck, G.J. & H. Ringgren. “Echadh” in Theological dictionary of the Old Testament. Rev. ed. Stuttgart: Verlag W. Kohlhammer GmbH, 1970-1974, p. 173
  4. Chandra, R.I. The Complexity of Serat Jatimurti: Uncovering Its Teaching about Reality and Human Nature. Unpublished draft, 2020.
  5. Green, G.L., Stephen T. Pardue, K.K. Yeo. The Trinity among the Nations: The Doctrine of God in the Majority World. London: Langham Global Library, 2017.
  6. Heald, G. Why the logic state 'neither true nor false' has been incorrectly assigned.
  7. url:
  8. https://www.researchgate.net/publication/319328333_Why_the_logic_state_%27neither_true_
  9. nor_false%27_has_been_incorrectly_assigned
  10. Noorsena, B. Kanjeng Gusti Isa, Kalimatullah, Sang Manunggaling Kawula Gusti. Dikutip dari
  11. buku Menyongsong datangnya Ratu Adil. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 2003.
  12. Susanto, H. Yesus Sebagai Anak Allah Menurut Injil Matius dan Implementasinya Dalam
  13. Berapologetika. LOGIA, vol. 1, no. 1 (2019).
  14. Tertullian. “Adversus Praxean” in Tertullian: Complete Works. Delphi Classics. (translated by
  15. Peter Holmes).
  16. Zoetmulder, P.J. Manunggaling kawula Gusti. Jakarta: Gramedia, 1991